Langsung ke konten utama

Pandemi: Agak Aman dari Pertanyaan “Kapan Nikah?”

menikah

 

“Kapan nikah?” Bosen gak sih dengan pertanyaan seperti itu tiap kumpul bareng keluarga besar? Pertanyaan yang sama berulang-ulang dan bertahun-tahun buat kaum jomblo.


Pas pulang kampung seringkali ditanya “mana calonnya?”, Yaelah dikira merantau cari calon pasangan, cari uang menjadi prioritas saat ini. Bercita-cita menjadi kaya layaknya sultan, siapa tahu ada calon yang ngantri. 


Hal inilah yang kadang membuat seseorang (khususnya kaum jomblo, malas pulang kampung atau sekedar ngumpul bareng temen yang sudah berpasangan). Apalagi usia yang dianggap matang untuk membangun rumah tangga. Umur 25 belum nikah, sudah diwanti-wanti “Ndok, Le ndang golek bojo”  (Nak, cepet cari pasangan).


Ya, gimana ya… kalau belum ada calonnya atau memang sengaja enggak cari calon karena memang belum mau atau bahkan punya cita-cita gak mau nikah, tapi kalau orangtua bahkan barisan para tetangga udah kasih alarm begitu, di-iya-in saja. “Doakan ya Pak, Buk” 


Eh, tapi sejak pandemi ini, karena belum pulang kampung atau jarang ngumpul-ngumpul, kondisi jadi agak aman dari pertanyaan “Kapan Nikah?”. Boleh dibilang “keuntungan”. Lagi pandemi gini, orang juga jarang yang menikah, bahkan ada yang harus ditunda sampai corona mereda. Kapan? Enggak tahu sampai kapan.


Acara kondangan ke pernikahan temen yang sudah gak sabar menikah, meski di masa pandemi juga menjadi tidak ramai. Selain khawatir tertular atau menularkan virus, tapi juga harus ekstra protektif sama diri sendiri sampai pakai masker 3 lapis, semprat-semprot handsanitizer, hingga cuci tangan sampai kulit kering.


Dapat undangan pernikahan, corona menjadi alasan utama. “Eh, sorry ya gak bisa datang ke pernikahan kalian, lagi pandemi gini. Di tempatku masih PSBB, gak bisa kemana-mana nih” Ditambah emot nangis untuk mencerminkan rasa sedih gak bisa datang ke acara bahagianya teman. Apakah sebenarnya begitu? Hanya kamu dan Tuhan yang tahu!


Bahkan, acara penting seperti kumpul-kumpul dengan keluarga absen dulu. Jangankan ngumpul, pulang kampung pun tak bisa. Selain sebagai upaya mengurangi penyebaran virus corona yang berpotensi membayakan kesehatan keluarga di rumah, ini juga menjadi upaya menjaga kesehatan hati dari pertanyaan “kapan nikah?” Haha


Memaksa pulang kampung dan abai dengan protokol kesehatan tentu sangat berbahaya. Bukannya bawa pulang calon mantu untuk bapak, ibu di rumah, malah bawa corona. Pasti gak maukan keluarga kita kenapa-napa.


Saat ini kesehatan dan keuangan jadi prioritas utama gak sih? Banyak yang rajin olah raga, minum Vitamin C, hingga lebih fokus buat cari kerjaan baru (karena di PHK), ningkatin kualitas kerja biar tetap dipertahanin di perusahaannya, daripada nyari pasangan. Cari pasangan jadi prioritas ke sekian setelah finansial mapan. Kalau kamu jomblo, dan merasa tertekan dengan tuntutan menikah, yok tos dulu. Tapi, santai saja. Kalau kata Afgan “Jodoh Pasti Bertemu”.

calon pengantin wanita
calon pengantin wanita via https://pixabay.com/StockSnap


Kamu jomblo gak sendirian lur. Menjadi jomblo juga bukanlah hal yang menyedihkan kalau memang itu sebuah pilihan. 

Susan Winter (love coach) bilang “being single is an act of purging the clutter and making room for new thoughts (and dreams) to breathe and grow”. 

Kurang lebih artinya, menjadi lajang adalah kondisi membereskan kekacauan dan membuat ruang bagi pikiran dan impian baru untuk terus tumbuh dan berkembang.


Kalau belum terlanjur menikah karena belum ada pasangannya, nyantai saja. Anggap saja Tuhan kasih waktu lebih banyak ke kita untuk membereskan hal-hal berantakan yang ada dalam diri. Kita dikasih kesempatan untuk memantaskan diri sebelum bertemu dengan pasangan.


Kata orang “jodoh adalah cerminan dari diri kita sendiri”. Kalau kita orangnya mageran parah, awut-awutan, gak punya tujuan hidup yang jelas, berarti jodoh kita ….. ya, pahamlah ya.


Makanya, kalau masih belum ketemu pasangan menua bersama, berarti kita memang belum pantas bertemu dengan para sultan yang akan membawa kesejahteraan di masa mendatang.

Kerja keras, cerdas, dan ikhlas dulu saja, sambil doa biar bertemu jodoh segera.

Yok, semangat yok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelilingi Diri dengan Kegembiraan, Ucapkan Terima Kasih Saat Melepaskan

Tyding Up & Spraking Joy Setiap kali melihat atau mendengar dua kata kunci tersebut, selalu teringat dengan Marie Kondo pengagas KonMari Method. Meskipun terlihat sekilas seperti gaya hidup minimalis, tetapi metode KonMari by Marie Kondo bukan sekedar tentang banyak sedikitnya barang di sekitar kita. Tetapi, mendorong seseorang untuk hidup diantara hal-hal yang memicu kegembiraan.  Dalam metodenya, KonMari mengajak kita untuk mulai merapikan hal-hal di sekitar kita yang dapat menimbulkan "kekacauan". Bukan hanya sekedar bebenah atau bersih-bersih semata, tetapi melibatkan perasaan dalam setiap prosesnya.  Seperti yang terlihat dalam serial Netflix "Sparking Joy with Marie Kondo". Bagaimana Marie Kondo memulai menyapa tempat yang akan dibersihkan, mengajukan pertanyaan sederhana pada diri sendiri terkait dengan barang-barang yang akan dirapikan. Apakah ini memicu kegembiraan? Sparking Joy with Marie Kondo on Netflix Netflix menayangkan serial reality Marie Kondo

Gak Percaya Diri dengan Hasil Tulisanmu? Coba Terapkan 5 Hal Ini!

Bukan hanya penampilan saja yang membuat seseorang tidak percaya diri. Hasil karya seperti tulisan pun kerap membuatnya minder, apalagi jika harus dipublikasikan.  Sebenarnya ini hal yang wajar, apalagi jika baru pertama kali membuat tulisan untuk dipublikasikan, entah di blog pribadi, media sosial, website, atau platform menulis lainnya. Jika kamu salah satu orang yang tidak percaya diri dengan hasil tulisanmu, coba lakukan 5 hal berikut ini! Cari Referensi Bacaan mencari referensi via https://pixabay.com/Kaboompics Kamu bisa mencari referensi bacaan secara online seperti website atau jurnal online, maupun melalui buku. Fokuslah pada bacaan sesuai dengan apa yang ingin kamu tulis. Misalnya, kamu ingin menulis artikel berita, maka situs berita online seperti Kompas.com, Detik.com, Tempo.co, dan portal berita online lainnya lebih cocok dibandingkan membaca buku Novel. Lain halnya jika kamu ingin menulis cerpen, maka referensi yang kamu butuhkan adalah kumpulan cerpen. Saya pernah